Kamis, 29 November 2018

Hukum syar'i dan macam-macamnya




HUKUM SYAR’I DAN MACAM-MACAMNYA

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas UAS
Mata Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. Abdul Jalil, S.Ag, M.E.I

Oleh :

Rudhiana Ahfia Karima          (1710110011)


PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KUDUS
TAHUN 2018







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Suatu perbuatan yang dilakukan manusia baik itu sikap, perilaku maupun tutur katanya tidak lepas dari ketentuan hukum syar’i, baik hukum syar’i yang tercantum dalam Qur’an dan Sunnah..
Al-Qur’an adalah sumber utama bagi hukum islam, sekaligus juga sebagai dalil utama fiqh. Al-Qur’an membimbing dan memberikan petunjuk bagi manusia untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian ayat-ayatnya.
Oleh karena itu, perlu kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita sebagai seorang muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalah tentang hukum syar’i.
Dari makalah ini, kami akan membahas tentang pengertian hukum syar’i serta macam-macam hukum syar’i.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian hukum syar’i?
2.      Apa macam-macam hukum syar’i?

C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuannya sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian hukum syar’i,
2.      Untuk mengetahui macam-macam hukum syar’i.





BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Hukum Syar’i
Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab, yaitu hakama-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi hukman. Lafadz “al-hukmu” adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak “al-ahkam”. Berdasarkan akar kata “hakama” tersebut kemudian muncul kata “al-hikmah” yang memiliki arti kebijaksanaan.[1]
Pengertian hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang lain. Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah tuntutan dari Allah yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf. Hakikat hukum adalah bunyi dari titah Allah yang berbentuk teks itu sendiri[2]
Hukum syar’i menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah Khithab Syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.[3] Khithab adalah semua bentuk dalil, baik Al-Qur’an, As-Sunah maupun yang lainnya.
Menurut Abu Zahrah hukum adalah titah Allah (atau sabda Rasul) yang mengenai pekerjaan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik titah itu mengandung tuntutan, suruhan, atau larangan, atau semata-mata menerangkan kelebihan, atau menjadikan sesuatu itu sebab atau syarat atau penghalang bagi sesuatu hukum.[4]
Di kalangan usuliyyun, jika yang dimaksudkan dengan hukum, maka ada beberapa arti yang dimiliki, yakni:
1. Menetapkan sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya, seperti menetapkan terbitnya bulan dan meniadakan kegelapan dengan terbitnya matahari.
2. Khitab Allah, seperti “aqimu as-salaf”. Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum adalah nas yang datang dari Syari'.
3. Akibat dari khitab Allah, seperti hukum wajib yang dipahami dari Firman Allah Swt, “aqimu as-salat”.
4. Keputusan hakim[5]
Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang berakal sehat meliputi perbuatan hati, seperti niat dan perbuatan ucapan, seperti ghibah (menggunjing) dan namimah (mengadu domba).[6]

B.  Macam-macam Hukum Syar’i
Berdasarkan definisi hukum syar’i menurut ulama ushul fiqh dapat diambil kesimpulan bahwa hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu berkaitan dengan perbuatan mukallaf, ada kalanya dari segi tuntutan, dan pilihan (hukum taklifi) dan ada dari segi penetapan (hukum wadh’i). Maka hukum menurut ulama ushul fiqh ada dua bagian yaitu hukum takfili dan hukum wadh’i.[7]
1.    Hukum taklifi
Hukum taklifi merupakan tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau perintah untuk meninggalkan sesuatu.[8] Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:

وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya : “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad), agar kamu diberi rahmat.”( Q.S An-Nur : 56)[9]
a.         Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil.”(Q.S Al-Baqarah : 188)

b.         Contoh firman Allah SWT yang bersifat memilih:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya : “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”(Q.S Al Baqarah : 187)
     Beberapa contoh diatas disebut hukum taklifi, karena ia mengandung pentaklifan mukallaf untuk mengerjakan atau meninggalkan pekerjaan atau memberikan pilihan antara mengerjakan dan meninggalkannya. Imam hanafi menjelaskan hukum taklifi mencakup wajib, mandub, haram, makruh dan mubah.[10] Hukum taklifi terbagi menjadi lima bagian, yaitu :
1)        Ijab
       Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya dikenai sanksi.
2)        Nadb
       Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkan perbuatan tersebut tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan tersebut disebut nadb.
3)      Ibahah
       Yaitu khithab Allah yang bersifat fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama. Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan yang boleh dipilih itu disebut mubah.[11]
4)      Karahah
       Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan itu tidak dikenai hukuman. Karahah merupakan kebalikan dari nadb.
5)      Tahrim
       Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan suatu perbuatan dengan tuntutan memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah dan perbuatan yang dituntut disebut haram.

            Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan, hukum taklifi terbagi menjadi lima macam yaitu: [12]
a)      Wajib
Secara etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara terminologi,seperti yang dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan Irak, wajib berarti sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakanakan mendapat pahala dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
     Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bila dilihat dari segi orang yang dibebani  kewajiban hukum wajib dibagi menjadi dua macam yaitu:
1)      Wajib ‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh dan berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur kecuali dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari semalam, puasa dibulan Ramadhan.
2)      Wajib kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila mana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu dianggap sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi diwajibkan mengerjakannya. Misalnya kewajiban sholat jenazah.
     Bila dilihat dari segi kandungan perintah, hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam:
1)      Wajib mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara’ dengan secara khusus(tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat lima waktu, puasa Ramadhan,membayar zakat.
2)      Wajib mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi objeknya boleh dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat (denda melanggar).

              Bila dilihat dari waktu pelaksanaanya ada dua macam:
a)        Wajib mu’aqqat, yaitu: sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam waktu tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing-masing sholat itu dibatasi wakti tertentu,artiya tidak wajib sholat sebelum waktunya dan berdosa jika mengakhirkan sholat tanpa udhur.
b)        Wajib mutlaq, yaitu:sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti tetapi tidak ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
              Dilihat dari segi ukurannya ada dua macam:
a)        Wajib muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya, seperti zakat.
b)        Wajib ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i tidak ditentukan ukurannya, seperti bershodaqoh, infaq.
b)        Mandub
Kata mandub secara etimologi berarti “sesuatu yang dianjurkan”. Secara terminologi yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-nya dimana akan diberi pahala jika melaksanakannya. Namun tidak mendapat dosa orang yang meninggalkannya. Seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, mandub terbagi menjadi tiga tingkatan :
a)        Sunnah Muakadah (sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh Rasulullah dan jarang ditinggalkannya misalnya shalat sunnah dua rakaat sebelum fajar.
b)        Sunnah ghoir muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah namun bukan menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan salat sunah dua kali dua rakaat sebelum shalat dhuhur.
c)        Sunah al Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari- hari Rasulullah sebagai manusia misalnya sopan santunnya dalam makan dan tidur.
c)        Haram
Pengertian haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara’ haram ialah: “pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakanya”. Sedangkan secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah, diberi pahala. Misalnya larangan berzina dalam firman Allah yang artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.(QS.Al-isra’:32)
Dalam kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan). Haram terbagi menjadi dua:
a)        Haram yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa hukum syara’ telah mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti zina,mencuri,shalat tanpa bersuci,mengawini salah satu muhrimnya dengan mengetahui keharamannya
b)        Haram karena sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada awalnya ditetapkan sebagai kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang baru yang menjadikannya haram: seperti sholat yang memakai baju gosob,jual beli yang mengandung unsur menipu, thalaq bid’i (talaq yang dijatuhkan pada saat istri sedang haid).
d)       Makruh
Secara bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”.dalam istilah ushul fiqh kata makruh,menurut mayoritas ulama ushul fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan syari’at untuk ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak berdosa. Seperti halnya berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan di siang hari pada saat berpuasa karena dikhawatirkan air akan masuk kerongga kerokongan dan tertelan.
e)        Mubah
Secara bahasa berarti”sesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan”, menurut para ahli ushul adalah sesuatu yang diberikan kepada mukalaf untuk memilih antara melakukan atau meninggalkannya. Misalnya, ketika didalam rumah tangga terjadi cekcok yang berkepanjangan dan dikhawatirkan tidak dapatlagi hidup bersama maka boleh (mubah)bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami agar suaminya itu menceraikannya, sesuai dengan QS.Al-Baqarah:229. Dan juga termasuk mudah bila syar’i memerintahkan suatu perbuatan dan terdapat alasan yang emnunjukkan bahwa perintah itu berarti mubah. Misalnya, dalam QS. Al Maidah : 2 yang artinya: “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu”.

2.    Hukum Wadh’i
                 Hukum wadh’i adalah firman Allah SWT, yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, syarat atau penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Dalam ilmu hukum, ia disebut pertimbangan hukum.
a.       Contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain:
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
       Artinya : “Dirikanlah shalat sejak matahari tergelincir.”(Q.S Al Isra : 78)
Pada ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b.      Contoh firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ
Artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin (dewasa).”(Q.S An-Nisa :6)[13]
Dalam ushul fikih, hukum wadh’i terdiri dari, sebab (sabab), syarat (syarth), penghalang (mani’), rukhsah (keringanan), azimah (hukum yang tidak berubah), sahih (sah), dan batal (batil atau fasid) .
1)      Sebab
Menurut bahasa adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah, sebab adalah suatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Artinya dengan adanya sebab, maka dengan sendirinya akan terwujud hukum atau musabab. Seperti berkaitan dengan sanksi bagi pencuri yang difirmankan dalam Q.S Al-Maidah ayat 38, ayat ini merupakan contoh bahwa adanya sanksi potong tangan karena adanya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan, yakni mencuri. Hukum taklifi dari ayat tersebut adalah haram, yakni segala bentuk pencurian hukumnya haram sehingga pelakunya akan mendapat sanksi.[14]
Dengan demikian, ada keterkaitan hukum taklifi dengan hukum wadh’i, tetapi Hukum wadh’i hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi, para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash, bukan buatan manusia.
2)      Syarat
Yaitu sesuatu yang berada di luar hukum syar’i. Tetapi keberadaan hukum syar’i bergantung kepadanya. Apabila syarat tidak ada, maka hukum pun tidak ada. Tetapi adanya syarat tidak mengharuskan adanya hukum syar’i.
Misalnya wudhu adalah salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa wudhu. Akan tetapi apabila seseorang berwudhu, ia tidak harus melaksanakan shalat.[15]
Para ulama usul fikih membagi syarat kepada dua macam, yaitu:
a)                  Syarat syar’i, yaitu syarat yang datang langsung dari syari’at sendiri. Misalnya, Keadaan rusyd (kemampuan untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazzir) bagi seorang anak yatim dijadikan oleh syari’at sebagai syarat bagi wajib menyerahkan hartanya kepadanya (Q.S. an-Nisa’: 6).
b)                 Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri. Misalnya, seorang suami berkata kepada istrinya: “Jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu satu”, dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk membayar utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar utangnya itu.[16]

3)      Mani’ (penghalang)
Yaitu sifat yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau membatalkan hukum. Sedangkan mani’ dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah suatu hal yang ditemukan bersama  keberadaan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat.[17]
Misalnya, hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan kewarisan (waris mewarisi). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan bagian warisan sesuai pembagian masing-masing. Tetapi, hak pembagian bisa terhalang apabila sang anak atau istri membunuh suami atau ayah yang wafat tersebut (H.R. Bukhori Muslim). Perbuatan membunuh itupun yang menjadi mani’ (penghalang) untuk mendapatkan harta warisan. Keterkaitan antara sebab, syarat dan mani’ (penghalang) sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab dan terpenuhinya syarat-syarat.[18]
4)      Rukhsah
Yaitu sesuatu yang disyariatkan oleh Allah dari berbagai hukum dengan maksud memberikan keringanan mukallaf dalam berbagai situasi dan kondisi khusus.
5)      Azimah
Azimah merupakan kebalikan dari Rukhsah Yaitu hukum umum yang disyariatkan sejak semula oleh Allah yang tidak tertentu pada suatu keadaan saja dan tidak khusus untuk seorang mukallaf.
6)      Sahih (sah)
Yaitu sebuah keadaan perbuatan yang telah dipenuhi segala sesuatu yang diperlukan padanya, yakni rukun dan syarat. Khallaf mendefinisikan sah sebagai timbulnya berbagai konsenkuensi secara syariyyah atas perbuatan tersebut, akibat dari perbuatan yang sah adalah hilangnya kewajiban (bara’ah al-dzimmah) tuntutan pada diri mukallaf atas perbuatan tersebut.
7)      Batal (batil atau fasid)
Yaitu sebuah keadaan dimana perbuatan tidak terpenuhi syarat dan rukunnya. Akibatnya adalah tidak ada konsekuensi apapun dari perbuatan tersebut, atau diangga tidak pernah dilaksanakan.[19]

Ada beberapa perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i, antara lain:
1.      Dalam hukum at taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al wadh’i hal ini tidak ada, melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan sehingga salah satu diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, dan syarat.
2.      Hukum at taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan, ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan hukum al wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan oleh mukallaf.
3.      Hukum at taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melakukan atau meninggalkannya, sedangkan hukum al wadh’i tidak dipersoalkan.
4.      Hukum at taklifi ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal, sedangkan hukum al wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik telah mukallaf, maupun belum, misalnya anak kecil dan orang gila.[20]





BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Hukum syar’i menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah Khithab Syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.
2.      Hukum syar’i ada dua yaitu hukum takfili adalah firman Allah yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan meninggalkan. Dan hukum wadh’i adalah firman Allah SWT, yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang lain.









DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2017)
Ahmad Solihin Siregar, Al-Wadh’ dan Ciri Tekstualnya dalam Al-qur’an, Jurnal Hukum Islam dan Perundang-undangan, Vol.4 No.2, http://journal.iainlangsa.ac.id , diakses pada tanggal 6 Juni 2018
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 1994)

Anshari, Hukum Syara’ dan Sumber-Sumbernya (Jakarta: Menara Buku, 2013)

H.A. Khrisni, Epistimologi Hukum Islam (Sumber dan dalil hukum Islam, Metode istimbat dan Ijtihad dalam Kajian Epistimologi hukum fiqh)(Semarang: Unissula Press, 2012)
Imam Mustofa, 2011, Optimalisasi Perangkat dan Metode Ijtihad, Jurnal Hukum Islam (JHI), volume 9, nomor 2, http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/jhi , di akses: 1 Juni 2018
Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000)
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1 (Jakarta: Logos Wacana ilmu, 1997)
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015)
Rohidin, Pengantar Hukum Islam (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016)
Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2015)
Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012)
Shindu Irwansyah, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Bingkai Ushul Fikih, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol.1 No.1, http://ejuornal.unisba.ac.id, diakses pada tanggal 6 Juni 2018





[1]Rohidin, Pengantar Hukum Islam (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016) hlm, 10
[2] Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012) hlm, 25
[3]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 1994) hlm, 142.
[4] Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers, 2017) hlm, 95
[5]Anshari, Hukum Syara’ dan Sumber-Sumbernya (Jakarta: Menara Buku, 2013) hlm, 29.
[6]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015) hlm, 295.
[7]Ilmu Ushul Fiqh, Op.cit, hlm, 144
[8] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1 (Jakarta: Logos Wacana ilmu, 1997) hlm, 210
[9]Ilmu Ushul Fiqih, Op.cit, hlm, 296.
[10] Imam Mustofa, 2011, Optimalisasi Perangkat dan Metode Ijtihad, Jurnal Hukum Islam (JHI), volume 9, nomor 2, http: e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/jhi, di akses: 1 juli 2018
[11] Ibid, hlm, 297-299.
[12]Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2015) hlm, 42
[13]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015) hlm,312
[14] Shindu Irwansyah, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Bingkai Ushul Fikih, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol.1 No.1, http://ejuornal.unisba.ac.id, diakses pada tanggal 6 Juni 2018
[15]  Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015) hlm, 313-314
[16] H.A. Khrisni, Epistimologi Hukum Islam (Sumber dan dalil hukum Islam, Metode istimbat dan Ijtihad dalam Kajian Epistimologi hukum fiqh)(Semarang: Unissula Press, 2012) hlm, 25
[17]Ilmu Ushul Fiqh, Op.cit, hlm, 175
[18]Ilmu Ushul Fiqih, Op.cit, hlm, 314
[19] Ahmad Solihin Siregar, Al-Wadh’ dan Ciri Tekstualnya dalam Al-qur’an, Jurnal Hukum Islam dan Perundang-undangan, Vol.4 No.2, http://journal.iainlangsa.ac.id , diakses pada tanggal 6 Juni 2018.
[20]Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000) hlm, 19