Disusun
untuk Memenuhi Tugas UAS
Mata
Kuliah : Ushul Fiqih
Dosen
Pengampu : Dr. Abdul Jalil, S.Ag, M.E.I
Oleh :
Rudhiana Ahfia
Karima (1710110011)
PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)
JURUSAN TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM
NEGERI (IAIN) KUDUS
TAHUN 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Suatu perbuatan yang dilakukan manusia baik itu sikap, perilaku
maupun tutur katanya tidak lepas dari ketentuan hukum syar’i, baik hukum syar’i
yang tercantum dalam Qur’an dan Sunnah..
Al-Qur’an adalah sumber utama bagi hukum islam, sekaligus juga
sebagai dalil utama fiqh. Al-Qur’an membimbing dan memberikan petunjuk bagi
manusia untuk menemukan hukum-hukum yang terkandung dalam sebagian
ayat-ayatnya.
Oleh karena itu, perlu kita ketahui bahwa dalam kehidupan ini, kita
sebagai seorang muslim perlu mempelajari dan memahami masalah-masalah tentang
hukum syar’i.
Dari makalah ini, kami akan membahas tentang pengertian hukum
syar’i serta macam-macam hukum syar’i.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Apa
pengertian hukum syar’i?
2.
Apa
macam-macam hukum syar’i?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah di atas, maka tujuannya sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian hukum syar’i,
2. Untuk mengetahui macam-macam hukum syar’i.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Hukum Syar’i
Kata hukum secara etimologi berasal dari akar kata bahasa Arab,
yaitu hakama-yahkumu yang kemudian bentuk mashdar-nya menjadi hukman. Lafadz “al-hukmu”
adalah bentuk tunggal dari bentuk jamak “al-ahkam”.
Berdasarkan akar kata “hakama” tersebut kemudian muncul kata “al-hikmah” yang
memiliki arti kebijaksanaan.[1]
Pengertian hukum menurut bahasa adalah menetapkan sesuatu atas yang
lain. Sedangkan hukum menurut istilah agama (syara’) adalah tuntutan dari Allah
yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan bagi tiap-tiap orang mukallaf.
Hakikat hukum adalah bunyi dari titah Allah yang berbentuk teks itu sendiri[2]
Hukum syar’i menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah
Khithab Syar’i yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik
dalam bentuk tuntutan, pilihan, atau ketetapan.[3] Khithab
adalah semua bentuk dalil, baik Al-Qur’an, As-Sunah maupun yang lainnya.
Menurut Abu Zahrah hukum adalah titah Allah (atau sabda Rasul) yang
mengenai pekerjaan mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal), baik titah
itu mengandung tuntutan, suruhan, atau larangan, atau semata-mata menerangkan
kelebihan, atau menjadikan sesuatu itu sebab atau syarat atau penghalang bagi
sesuatu hukum.[4]
Di kalangan usuliyyun, jika yang dimaksudkan dengan hukum, maka ada
beberapa arti yang dimiliki, yakni:
1. Menetapkan
sesuatu atas sesuatu atau meniadakannya, seperti menetapkan terbitnya bulan dan
meniadakan kegelapan dengan terbitnya matahari.
2. Khitab
Allah, seperti “aqimu as-salaf”. Dalam hal ini yang dimaksud dengan hukum
adalah nas yang datang dari Syari'.
3. Akibat dari
khitab Allah, seperti hukum wajib yang dipahami dari Firman Allah Swt, “aqimu
as-salat”.
4. Keputusan hakim[5]
Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah
perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang berakal sehat meliputi perbuatan
hati, seperti niat dan perbuatan ucapan, seperti ghibah (menggunjing)
dan namimah (mengadu domba).[6]
B.
Macam-macam Hukum Syar’i
Berdasarkan definisi hukum syar’i menurut ulama ushul fiqh dapat
diambil kesimpulan bahwa hukum itu bukan satu macam saja, karena hukum itu
berkaitan dengan perbuatan mukallaf, ada kalanya dari segi tuntutan, dan
pilihan (hukum taklifi) dan ada dari segi penetapan (hukum wadh’i).
Maka hukum menurut ulama ushul fiqh ada dua bagian yaitu hukum takfili dan
hukum wadh’i.[7]
1.
Hukum
taklifi
Hukum taklifi
merupakan tuntutan Allah yang berkaitan dengan perintah untuk berbuat atau
perintah untuk meninggalkan sesuatu.[8] Contoh
firman Allah SWT yang bersifat menuntut untuk melakukan perbuatan:
وَأَقِيمُوا الصَّلاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا
الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
Artinya
: “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul
(Muhammad), agar kamu diberi rahmat.”( Q.S An-Nur : 56)[9]
a. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
a. Contoh firman Allah SWT yang bersifat menuntut meninggalkan perbuatan:
وَلَا
تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Artinya : “Dan
janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang bathil.”(Q.S Al-Baqarah : 188)
b.
Contoh
firman Allah SWT yang bersifat memilih:
وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ اْلأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
Artinya : “Dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.”(Q.S Al Baqarah : 187)
Beberapa contoh diatas disebut hukum
taklifi, karena ia mengandung pentaklifan mukallaf untuk mengerjakan atau
meninggalkan pekerjaan atau memberikan pilihan antara mengerjakan dan
meninggalkannya. Imam hanafi menjelaskan hukum taklifi mencakup wajib, mandub,
haram, makruh dan mubah.[10] Hukum
taklifi terbagi menjadi lima bagian, yaitu :
1)
Ijab
Yaitu tuntutan syar’i yang bersifat untuk
melaksanakan sesuatu dan tidak boleh ditinggalkan. Orang yang meninggalkannya
dikenai sanksi.
2)
Nadb
Yaitu tuntutan untuk melaksanakan suatu
perbuatan yang tidak bersifat memaksa, melainkan sebagai anjuran, sehingga
seseorang tidak dilarang untuk meninggalkannya. Orang yang meninggalkan
perbuatan tersebut tidak dikenai hukuman. Yang dituntut untuk dikerjakan itu
disebut mandub, sedangkan akibat dari tuntutan tersebut disebut nadb.
3)
Ibahah
Yaitu khithab Allah yang bersifat
fakultatif, mengandung pilihan antara berbuat atau tidak berbuat secara sama.
Akibat dari khithab Allah ini disebut juga dengan ibahah, dan perbuatan
yang boleh dipilih itu disebut mubah.[11]
4)
Karahah
Yaitu tuntutan untuk meninggalkan suatu
perbuatan, tetapi tuntutan itu diungkapkan melalui redaksi yang tidak bersifat
memaksa. Dan seseorang yang mengerjakan perbuatan yang dituntut untuk ditinggalkan
itu tidak dikenai hukuman. Karahah merupakan kebalikan dari nadb.
5)
Tahrim
Yaitu tuntutan untuk tidak mengerjakan
suatu perbuatan dengan tuntutan memaksa. Akibat dari tuntutan ini disebut hurmah
dan perbuatan yang dituntut disebut haram.
Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan,
hukum taklifi terbagi menjadi lima macam yaitu: [12]
a)
Wajib
Secara
etimologi kata wajib berarti tetap atau pasti.secara terminologi,seperti yang
dikemukakan Abd. Al-karim Zaidan, ahli hukum islam berkebangsaan Irak, wajib
berarti sesuatu yang diperintahkan (diharuskan) oleh Allah dan Rasul-Nya untuk
dilaksanakan oleh orang mukalaf, dan apabila dilaksanakanakan mendapat pahala
dari Allah, sebaliknya apabila tidak dilaksanakan diancam dengan dosa.
Hukum wajib dari berbagai segi dapat dibagi
menjadi beberapa bagian. Bila dilihat dari segi orang yang dibebani kewajiban hukum wajib dibagi menjadi dua
macam yaitu:
1)
Wajib
‘Aini, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada setiap orang yang sudah baligh
dan berakal (mukalaf), tanpa kecuali. Kewajiban seperti ini tidak bisa gugur
kecuali dilakukan sendiri. Misalnya, kewajiban sholat lima waktu sehari
semalam, puasa dibulan Ramadhan.
2)
Wajib
kifayah, yaitu kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukalaf, namun bila
mana telah dilaksanakan oleh sebagian umat islam maka kewajiban itu dianggap
sudah terpenuhi sehingga orang yang tidak ikut melaksanakannya tidak lagi
diwajibkan mengerjakannya. Misalnya kewajiban sholat jenazah.
Bila dilihat dari segi kandungan perintah,
hukum wajib dapat dibagi kepada dua macam:
1)
Wajib
mu’ayyan, yaitu: suatu kewajiban yang dituntut adanya oleh syara’ dengan secara
khusus(tidak ada pilihan lain). Misalnya, sholat lima waktu, puasa
Ramadhan,membayar zakat.
2)
Wajib
mukhayyar, yaitu: suatu kewajiban yang di mana yang menjadi objeknya boleh
dipilih antara beberapa alternatif. Misalnya, kewajiban membayar kaffarat
(denda melanggar).
Bila dilihat dari waktu
pelaksanaanya ada dua macam:
a)
Wajib
mu’aqqat, yaitu: sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti dalam
waktu tertentu, seperti shalat lima waktu. Masing-masing sholat itu dibatasi
wakti tertentu,artiya tidak wajib sholat sebelum waktunya dan berdosa jika
mengakhirkan sholat tanpa udhur.
b)
Wajib
mutlaq, yaitu:sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilakukan secara pasti tetapi
tidak ditentukan waktunya, seperti menunaikan ibadah haji bagi yang mampu.
Dilihat dari segi ukurannya ada
dua macam:
a)
Wajib
muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i telah ditentukan ukurannya, seperti
zakat.
b)
Wajib
ghairu muhaddad, yaitu kewajiban yang oleh syar’i tidak ditentukan ukurannya,
seperti bershodaqoh, infaq.
b)
Mandub
Kata
mandub secara etimologi berarti “sesuatu yang dianjurkan”. Secara terminologi
yaitu suatu perbuatan yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-nya dimana akan
diberi pahala jika melaksanakannya. Namun tidak mendapat dosa orang yang
meninggalkannya. Seperti dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidan, mandub terbagi
menjadi tiga tingkatan :
a)
Sunnah
Muakadah (sunah yang dianjurkan), Yaitu perbuatan yang dibiasakan oleh
Rasulullah dan jarang ditinggalkannya misalnya shalat sunnah dua rakaat sebelum
fajar.
b)
Sunnah
ghoir muakadah (sunah biasa), Yaitu sesuatu yang dilakukan Rasulullah namun
bukan menjadi kebiasaannya misalnya : melakukan salat sunah dua kali dua rakaat
sebelum shalat dhuhur.
c)
Sunah
al Zawaid, Yaitu mengikuti kebiasaan sehari- hari Rasulullah sebagai manusia
misalnya sopan santunnya dalam makan dan tidur.
c)
Haram
Pengertian
haram menurut bahasa berarti yang dilarang. Menurut istilah ahli syara’ haram
ialah: “pekerjaan yang pasti mendapat siksaan karena mengerjakanya”. Sedangkan
secara terminologi ushul fiqh kata haram berarti sesuatu yang dilarang oleh
Allah dan Rasul-Nya, dimana orang yang melanggarnya dianggap durhaka dan
diancam dengan dosa, dan orang yang meninggalkannya karena menaati Allah,
diberi pahala. Misalnya larangan berzina dalam firman Allah yang artinya: “Dan
janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan
yang keji dan suatu jalan yang buruk”.(QS.Al-isra’:32)
Dalam
kajian ushul fiqh dijelaskan bahwa, sesuatu tidak akan dilarang atau diharamkan
kecuali karena sesuatu itu mengandung bahaya bagi kehidupan manusia. Haram
disebut juga muharram (sesuatu yang diharamkan). Haram terbagi menjadi dua:
a)
Haram
yang menurut asalnya sendiri adalah haram. Artinya bahwa hukum syara’ telah
mengharamkan keharaman itu sejak dari permulaan, seperti zina,mencuri,shalat
tanpa bersuci,mengawini salah satu muhrimnya dengan mengetahui keharamannya
b)
Haram
karena sesuatu yang baru. Artinya suatu perbuatan itu pada awalnya ditetapkan
sebagai kewajiban, kesunnahan, kebolehan, tetapi bersamaan dengan sesuatu yang
baru yang menjadikannya haram: seperti sholat yang memakai baju gosob,jual beli
yang mengandung unsur menipu, thalaq bid’i (talaq yang dijatuhkan pada saat
istri sedang haid).
d)
Makruh
Secara
bahasa kata makruh berarti “sesuatu yang dibenci”.dalam istilah ushul fiqh kata
makruh,menurut mayoritas ulama ushul fiqh, berarti sesuatu yang dianjurkan
syari’at untuk ditinggalkan akan mendapat pujian dan apabila dilanggar tidak
berdosa. Seperti halnya berkumur dan memasukkan air ke hidung secara berlebihan
di siang hari pada saat berpuasa karena dikhawatirkan air akan masuk kerongga
kerokongan dan tertelan.
e)
Mubah
Secara
bahasa berarti”sesuatu yang diperbolehkan atau diijinkan”, menurut para ahli
ushul adalah sesuatu yang diberikan kepada mukalaf untuk memilih antara
melakukan atau meninggalkannya. Misalnya, ketika didalam rumah tangga terjadi
cekcok yang berkepanjangan dan dikhawatirkan tidak dapatlagi hidup bersama maka
boleh (mubah)bagi seorang istri membayar sejumlah uang kepada suami agar
suaminya itu menceraikannya, sesuai dengan QS.Al-Baqarah:229. Dan juga termasuk
mudah bila syar’i memerintahkan suatu perbuatan dan terdapat alasan yang
emnunjukkan bahwa perintah itu berarti mubah. Misalnya, dalam QS. Al Maidah : 2
yang artinya: “Dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh
berburu”.
2.
Hukum
Wadh’i
Hukum wadh’i adalah firman
Allah SWT, yang menuntut untuk menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau
penghalang dari sesuatu yang lain. Bila firman Allah menunjukkan atas kaitan
sesuatu dengan hukum taklifi, baik bersifat sebagai sebab, syarat atau
penghalang maka ia disebut hukum wadh’i. Dalam ilmu hukum, ia disebut
pertimbangan hukum.
a.
Contoh
firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai sebab yang lain:
أَقِمِ الصَّلاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ
Artinya : “Dirikanlah shalat sejak
matahari tergelincir.”(Q.S Al Isra : 78)
Pada
ayat tersebut, tergelincirnya matahari dijadikan sebab wajibnya shalat.
b.
Contoh
firman Allah SWT yang menjadikan sesuatu sebagai syarat:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَىٰ حَتَّىٰ إِذَا
بَلَغُوا النِّكَاحَ
Artinya : “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur
untuk kawin (dewasa).”(Q.S An-Nisa :6)[13]
Dalam ushul fikih, hukum wadh’i terdiri dari, sebab (sabab),
syarat (syarth), penghalang (mani’), rukhsah (keringanan),
azimah (hukum yang tidak berubah), sahih (sah), dan batal (batil
atau fasid) .
1)
Sebab
Menurut bahasa
adalah sesuatu yang dapat menyampaikan kepada sesuatu yang lain. Berarti jalan
yang dapat menyampaikan kepada sesuatu tujuan. Menurut istilah, sebab adalah
suatu sifat yang dijadikan syar’i sebagai tanda adanya hukum. Artinya dengan
adanya sebab, maka dengan sendirinya akan terwujud hukum atau musabab.
Seperti berkaitan dengan sanksi bagi pencuri yang difirmankan dalam Q.S
Al-Maidah ayat 38, ayat ini merupakan contoh bahwa adanya sanksi potong tangan
karena adanya kejahatan yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan, yakni
mencuri. Hukum taklifi dari ayat tersebut adalah haram, yakni segala bentuk
pencurian hukumnya haram sehingga pelakunya akan mendapat sanksi.[14]
Dengan
demikian, ada keterkaitan hukum taklifi dengan hukum wadh’i, tetapi Hukum
wadh’i hanya sebagai petunjuk untuk pelaksanaan hukum taklifi. Akan tetapi,
para ulama ushul fiqh menetapkan bahwa sebab itu harus muncul dari nash,
bukan buatan manusia.
2)
Syarat
Yaitu sesuatu
yang berada di luar hukum syar’i. Tetapi keberadaan hukum syar’i bergantung
kepadanya. Apabila syarat tidak ada, maka hukum pun tidak ada. Tetapi adanya
syarat tidak mengharuskan adanya hukum syar’i.
Misalnya wudhu
adalah salah satu syarat sah shalat. Shalat tidak dapat dilaksanakan tanpa
wudhu. Akan tetapi apabila seseorang berwudhu, ia tidak harus melaksanakan
shalat.[15]
Para ulama usul
fikih membagi syarat kepada dua macam, yaitu:
a)
Syarat syar’i, yaitu syarat
yang datang langsung dari syari’at sendiri. Misalnya, Keadaan rusyd (kemampuan
untuk mengatur pembelanjaan sehingga tidak menjadi mubazzir) bagi seorang anak yatim
dijadikan oleh syari’at sebagai syarat bagi wajib menyerahkan hartanya kepadanya
(Q.S. an-Nisa’: 6).
b)
Syarat Ja’ly, yaitu syarat yang
datang dari kemauan orang mukallaf itu sendiri. Misalnya, seorang suami berkata
kepada istrinya: “Jika engkau memasuki rumah si fulan, maka jatuhlah talakmu
satu”, dan seperti pernyataan seseorang bahwa ia baru bersedia menjamin untuk
membayar utang si fulan dengan syarat si fulan itu tidak mampu membayar
utangnya itu.[16]
3)
Mani’
(penghalang)
Yaitu sifat
yang keberadaannya menyebabkan tidak ada hukum atau membatalkan hukum.
Sedangkan mani’ dalam istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah suatu hal yang
ditemukan bersama keberadaan sebab dan
terpenuhinya syarat-syarat.[17]
Misalnya,
hubungan suami istri dan hubungan kekerabatan menyebabkan timbulnya hubungan
kewarisan (waris mewarisi). Apabila ayah wafat, istri dan anak mendapatkan
bagian warisan sesuai pembagian masing-masing. Tetapi, hak pembagian bisa
terhalang apabila sang anak atau istri membunuh suami atau ayah yang wafat
tersebut (H.R. Bukhori Muslim). Perbuatan membunuh itupun yang menjadi mani’
(penghalang) untuk mendapatkan harta warisan. Keterkaitan antara sebab, syarat
dan mani’ (penghalang) sangat erat. Penghalang itu ada bersamaan dengan sebab
dan terpenuhinya syarat-syarat.[18]
4)
Rukhsah
Yaitu sesuatu
yang disyariatkan oleh Allah dari berbagai hukum dengan maksud memberikan
keringanan mukallaf dalam berbagai situasi dan kondisi khusus.
5)
Azimah
Azimah
merupakan kebalikan dari Rukhsah Yaitu hukum umum yang disyariatkan sejak
semula oleh Allah yang tidak tertentu pada suatu keadaan saja dan tidak khusus
untuk seorang mukallaf.
6)
Sahih
(sah)
Yaitu sebuah
keadaan perbuatan yang telah dipenuhi segala sesuatu yang diperlukan padanya,
yakni rukun dan syarat. Khallaf mendefinisikan sah sebagai timbulnya berbagai
konsenkuensi secara syariyyah atas perbuatan tersebut, akibat dari perbuatan
yang sah adalah hilangnya kewajiban (bara’ah al-dzimmah) tuntutan pada
diri mukallaf atas perbuatan tersebut.
7)
Batal
(batil atau fasid)
Yaitu sebuah
keadaan dimana perbuatan tidak terpenuhi syarat dan rukunnya. Akibatnya adalah
tidak ada konsekuensi apapun dari perbuatan tersebut, atau diangga tidak pernah
dilaksanakan.[19]
Ada beberapa
perbedaan antara hukum taklifi dengan hukum wadh’i, antara lain:
1.
Dalam
hukum at taklifi terkandung tuntutan untuk melaksanakan, meninggalkan, atau
memilih berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum al wadh’i hal ini tidak ada,
melainkan mengandung keterkaitan antara dua persoalan sehingga salah satu
diantara keduanya bisa dijadikan sebab, penghalang, dan syarat.
2.
Hukum
at taklifi merupakan tuntutan langsung pada mukallaf untuk dilaksanakan,
ditinggalkan, atau melakukan pilihan untuk berbuat atau tidak berbuat. Sedangkan
hukum al wadh’i tidak dimaksudkan agar langsung dilakukan oleh mukallaf.
3.
Hukum
at taklifi harus sesuai dengan kemampuan mukallaf untuk melakukan atau
meninggalkannya, sedangkan hukum al wadh’i tidak dipersoalkan.
4.
Hukum
at taklifi ditujukan kepada para mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan
berakal, sedangkan hukum al wadh’i ditujukan kepada manusia mana saja, baik
telah mukallaf, maupun belum, misalnya anak kecil dan orang gila.[20]
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut,
dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.
Hukum
syar’i menurut istilah para ahli ilmu ushul fiqh adalah Khithab Syar’i yang
bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik dalam bentuk tuntutan,
pilihan, atau ketetapan.
2.
Hukum
syar’i ada dua yaitu hukum takfili adalah firman Allah yang menuntut manusia
untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu atau memilih antara berbuat dan
meninggalkan. Dan hukum wadh’i adalah firman Allah SWT, yang menuntut untuk
menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat atau penghalang dari sesuatu yang
lain.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh
(Jakarta: Rajawali Pers, 2017)
Ahmad Solihin Siregar, Al-Wadh’ dan Ciri Tekstualnya dalam
Al-qur’an, Jurnal Hukum Islam dan Perundang-undangan, Vol.4 No.2, http://journal.iainlangsa.ac.id ,
diakses pada tanggal 6 Juni 2018
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama,
1994)
Anshari, Hukum Syara’ dan
Sumber-Sumbernya (Jakarta: Menara Buku, 2013)
H.A. Khrisni, Epistimologi
Hukum Islam (Sumber dan dalil hukum Islam, Metode istimbat dan Ijtihad dalam
Kajian Epistimologi hukum fiqh)(Semarang: Unissula Press, 2012)
Imam Mustofa, 2011, Optimalisasi Perangkat dan Metode Ijtihad, Jurnal Hukum Islam (JHI), volume 9,
nomor 2, http://e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/jhi ,
di akses: 1 Juni 2018
Khairul Umam, dkk, Ushul
Fiqih 1 (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000)
Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1
(Jakarta: Logos Wacana ilmu, 1997)
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul
Fiqih (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015)
Rohidin, Pengantar Hukum
Islam (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016)
Satria Effendi, Ushul Fiqh
(Jakarta: Kencana, 2015)
Suwarjin, Ushul Fiqh
(Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012)
Shindu Irwansyah, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Hukum dalam
Bingkai Ushul Fikih, Jurnal Peradaban dan Hukum Islam, Vol.1 No.1, http://ejuornal.unisba.ac.id,
diakses pada tanggal 6 Juni 2018
[1]Rohidin, Pengantar Hukum Islam (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2016)
hlm, 10
[2] Suwarjin, Ushul Fiqh (Yogyakarta: Penerbit Teras, 2012) hlm, 25
[3]Abdul Wahab
Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh (Semarang: Dina Utama, 1994) hlm, 142.
[4] Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqh (Jakarta: Rajawali Pers,
2017) hlm, 95
[5]Anshari, Hukum Syara’ dan Sumber-Sumbernya (Jakarta: Menara Buku, 2013) hlm,
29.
[6]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015) hlm, 295.
[8] Nasrun Haroen, Ushul Fiqih 1 (Jakarta: Logos Wacana
ilmu, 1997) hlm, 210
[10] Imam Mustofa, 2011, Optimalisasi
Perangkat dan Metode Ijtihad, Jurnal
Hukum Islam (JHI), volume 9, nomor 2, http:
e-journal.stain-pekalongan.ac.id/index.php/jhi, di akses: 1 juli 2018
[11] Ibid,
hlm, 297-299.
[12]Satria Effendi, Ushul Fiqh (Jakarta: Kencana, 2015) hlm,
42
[13]Rachmat
Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih (Bandung: CV Pustaka Setia, 2015) hlm,312
[14] Shindu
Irwansyah, Perbuatan dan Pertanggungjawaban Hukum dalam Bingkai Ushul Fikih, Jurnal
Peradaban dan Hukum Islam, Vol.1 No.1, http://ejuornal.unisba.ac.id, diakses pada tanggal 6 Juni 2018
[15] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2015) hlm, 313-314
[16] H.A. Khrisni, Epistimologi Hukum Islam (Sumber dan dalil
hukum Islam, Metode istimbat dan Ijtihad dalam Kajian Epistimologi hukum fiqh)(Semarang:
Unissula Press, 2012) hlm, 25
[19] Ahmad Solihin
Siregar, Al-Wadh’ dan Ciri Tekstualnya dalam Al-qur’an, Jurnal Hukum Islam
dan Perundang-undangan, Vol.4 No.2, http://journal.iainlangsa.ac.id , diakses pada tanggal 6 Juni 2018.
[20]Khairul Umam, dkk, Ushul Fiqih 1 (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2000) hlm, 19