Kamis, 29 November 2018

Organisasi, lembaga dan tokoh pendidikan Islam


ORGANISASI, LEMBAGA DAN TOKOH-TOKOH
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Sejarah Pendidikan Islam
Dosen Pengampu: Nafi’ul Lubab, M.S.I


Oleh kelompok 10:

1.      Haykal Aufar Almas                           (1510110143)
2.      Nurqodir                                             (1710110009)
3.      Muhammad Sholichul Huda               (1710110010)
4.      Rudhiana Ahfia Karima                      (1710110011)


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KUDUS
2018






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan pendidikan Islam di Indonesia mengalami kemajuan setelah  pasang surut beberapa abad lalu. Kini pendidikan Islam berkembang kembali dengan ditandai munculnya beberapa organisasi dan lembaga pendidikan Islam.
Organisasi Islam lahir disebabkan karena tumbuhnya sikap patriotisme dan rasa nasionalisme serta sebagai respon terhadap kepincangan-kepincangan yang ada di kalangan masyarakat Indonesia pada abad ke-19 yang mengalami kemunduran total sebagai akibat eksploitasi politik pemerintah kolonial Belanda.
Tokoh-tokoh Islam kemudian membentuk semacam perkumpulan pergerakan Islam yang semula bermaksud berjuang bersama-sama rakyat dalam menghadapi penjajah, di samping itu berusaha memajukan bangsa melalui jalur pendidikan yang diperjuangkannya. Sekalipun bermunculan banyak organisasi Islam, namun pada dasarnya tetap mempunyai satu tujuan yaitu memajukan agama Islam dan merebut kemerdekaan dari cengkraman penjajah.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa saja organisasi pendidikan islam di Indonesia?
2.      Apa saja lembaga pendidikan islam di Indonesia?
3.      Siapa saja tokoh-tokoh pendidikan islam di Indonesia?
C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini yaitu:
1.      Untuk mengetahui organisasi pendidikan islam di Indonesia,
2.      Untuk mengetahui lembaga pendidikan islam di Indonesia,
3.      Untuk mengetahui tokoh-tokoh pendidikan islam di Indonesia.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Organisasi Pendidikan Islam di Indonesia
Pada abad ke 19 muncul berbagai organisasi Islam sebagai respon terhadap problematika masyarakat pada waktu itu. Beberapa tokoh Islam kemudian membentuk perkumpulan pergerakan islam yang bermaksud untuk menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat melalui pendidikan. Maka lahirlah sekolah-sekolah yang sesuai dengan tuntutan agama seperti Al-Jami’at Al Khairiyah, Al-Islam Wal Irsyad, Persyarikatan Ulama’, Muhammadiyah dan Nadlatul Ulama.[1]
Organisasi yang berdasarkan sosial keagamaan yang banyak melakukan aktivitas pendidikan Islam antara lain, yaitu:
1.    Al-Jami’at Al-Khairiyah
Jami’at Khair didirikan pada tanggal 17 Juli 1905 di Jakarta. Organisasi ini beranggotakan mayoritas orang Arab, dengan tokoh-tokohnya Sayid Muhammad al-Fakhir bin Abdurrahman al-Mansyur, Sayid Muhammad bin Abdullah bin Syihab, Sayid Idrus bin Ahmad bin Syihab dan Sayid Syehan bin Syihab.[2]
 Dua program utamanya adalah pendirian dan pembinaan sekolah tingkat dasar, dan yang kedua pengiriman anak-anak muda ke Turki dan Timur Tengah untuk melanjutkan pelajaran (Noer, 1991: 68). Bidang kedua ini terhambat karena kekurangan dana dan kemunduran khilafah dari dunia Islam. Pendidikan yang dikelola oleh Jami’at Khair sudah termasuk maju dibandingkan dengan sekolah-sekolah rakyat yang dikelola secara tradisional, karena pengajaran yang diberikan tidak semata-mata pengetahuan agama, tetapi juga mempelajari pengetahuan umum sehingga cukup mampu menyaingi sekolah-sekolah yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial.
Jami’at Khair juga mendatangkan guru dari luar negeri. Tercatat ada beberapa nama seperti Al-Hasyimi dari Tunisia, Syekh Ahmad Urkati dari Sudan, Syekh Muhammad Thaib dari Maroko dan Syekh Muhammad Abdul Hamid dari Mekkah (Hasbullah, 1996: 92-93). Salah seorang guru yang paling terkenal adalah Syekh Ahmad Surkati dari Sudan. Dia tampil sebagai tokoh pemikiran-pemikiran baru dalam masyarakat Islam Indonesia. Salah satu pemikirannya adalah bahwa tidak adanya perbedaan di antara sesama muslim. Kedudukan muslim sama saja. Keturunan, harta ataupun pangkat tidak menjadi penyebab adanya diskriminasi dalam Islam (Noer,1991: 68-69).
2.         Al-Islam Wal Irsyad
Al-Irsyad merupakan madrasah yang termasyhur di Jakarta yang didirikan pada tahun 1913 oleh Perhimpunan Al- Irsyad Jakarta dengan tokoh pendirinya Ahmad Surkati al-Anshari. Tujuan perkumpulan al-Irsyad ini adalah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa Arab di Indonesia. Al- Irsyad disamping bergerak di bidang pendidikan, juga bergerak di bidang sosial dan dakwah Islam berdasarkan al-Qur’an dan Sunnah Rasul secara murni.
Al-Irsyad adalah pecahan dari organisasi Jami’at Khair. Menurut Steenbrink, pada tahun 1913 telah terjadi perpecahan di kalangan Jami’at Khair mengenai hak istimewa golongan Sayyid. Mereka yang tidak setuju dengan kehormatan berlebihan bagi Sayyid dikecam dan dicap sebagai reformis dan kemudian mendirikan organisasi Jami’ah al-Islam wa al-Irsyad al- Arabiyah, Jami’ah al-Islam wa al Irsyad al-Arabiyah, yang dikenal dengan nama yang umum yaitu al-Irsyad (Steenbrink, 1986: 60). Salah satu perubahan yang dilakukan al-Irsyad adalah pembaharuan di bidang pendidikan. Pada tahun 1913 didirikan sebuah perguruan modern di Jakarta, dengan sistem kelas. Materi pelajaran yang diberikan adalah pelajaran umum, di samping pelajaran agama. Sekolah-sekolah al-Irsyad berkembang dan meluas sampai ke kota-kota.
Dalam bidang pendidikan Al-Irsyad mendirikan madrasah :
a.       Awaliyah, lama pelajaran 3 tahun (3 kelas)
b.       Ibtidaiyah, lama belajar 4 tahun (4 kelas)
c.       Tajhiziah, lama belajar 2 tahun (2 kelas)
d.      Mu’allimin, lama belajar 4 tahun (4 kelas)
e.       Takhassus, lama belajar 2 tahun (2 kelas) (Yunus, 1985: 307).
3.         Persyarikatan Ulama
Persyarikatan Ulama didirikan di Majalengka, Jawa Barat pada tahun 1911 oleh K.H Abdul Halim. Dia menuntut ilmu selama 3 tahun di Mekkah. Enam bulan setelah ia kembali dari Mekkah, KH. Abdul Halim mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub yang bergerak di bidang ekonomi dan pendidikan. organisasi ini bermaksud membantu anggota-anggotanya yang bergerak di bidang perdagangan dalam persaingan dengan pedagang-pedagang Cina (Noer, 1991: 80-81). Dalam bidang pendidikan, KH. Abdul Halim pada mulanya menyelengarakan pelajaran agama seminggu sekali untuk orang-orang dewasa, yang diikuti sekitar 60 orang. Umumnya pelajaran yang diberikan adalah pelajaran fikih dan hadist.
Hanya berjalan selama beberapa bulan, Hayatul Qulub dilarang oleh pemerintah kolonial Belanda karena dianggap sebagai pemicu kerusuhan. Tetapi ia tetap berpendirian bahwa harus ada gabungan antara ilmu pengetahuan agama dengan pengetahuan sosial agama. Oleh karena itu, Halim tetap melanjutkan pendidikan agama dalam bentuk pengajaran setiap minggu kepada orang dewasa. Setahun kemudian, ia mendirikan sekolah agama semacam pesantren, tetapi dengan sistem kelas yang mempunyai 5 kelas. Bahasa Arab sangat diutamakan, karenanya bahasa Arab merupakan bahasa pengantar pada kelas tertinggi. Karena Halim mempunyai hubungan yang baik dengan Jami’at Khair dan al-Irsyad, beberapa orang Arab di kedua organisasi tersebut mengajar di lembaga pendidikannya (Steenbrink, 1985: 73-74). Pada tahun 1932 KH. Abdul Halim mendirikan “Santri Asrama” sekolah ini merupakan realisasi dari gagasan Halim yang ia kemukakan pada Kongres Persyarikatan Ulama. Ia mengusulkan agar Persyarikatan Ulama mendirikan lembaga pendidikan yang betul-betul melahirkan alumninya menjadi orang-orang mandiri.[3]
4.         Muhammadiyah
Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan pada tanggal 18 November 1912 di Yogyakarta.[4] Tujuan pendidikan Muhammadiyah ini yang dirumuskan pada tahun 1936 dan disempurnakan lagi pada tahun 1955 di Pekalongan yaitu membentuk manusia muslim, berakhlak mulia , percaya diri sendiri serta berguna bagi masyarakat dan negara. Begitu pula masyarakat tidak diarahkan pada pemahaman agama “mistis” melainkan menghadapi dunia secara realistis. Hidup harus disertai dengan karya nyata, baik untuk diri sendiri maupun untuk masyarakat (Karim, 1985: 88).
5.         Nahdlatul Ulama
Berdirinya Nahdlatul Ulama, tidak dapat terlepas dari dua kyai besar yaitu K.H. Hasyim Asy’ari dan K.H. Wahab Hasbullah. Nahdlatul Ulama adalah organisasi para ulama (bentuk jama dari alim yang berarti orang yang berilmu) adalah orang-orang yang mengetahui secara mendalam segala hal yang bersangkut paut dengan agama. Nahdlatul Ulama berpegang pada Ahlussunnah wal Jama’ah dan tidak terlepas dari pengakuan terhadap ajaran keempat mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dan bimbingan para ulama. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah menjadi berkembang karena penegasan kaum tradisional menanggapi gerakan kaum pembaharu bahwa memahami ajaran Islam tidak cukup hanya berlandaskan al-Qur’an dan Hadist, tetapi harus melalui jenjang tertentu, yaitu ulama, mazhab, hadist (sunnah) dan akhirnya pada sumber utama yaitu al-Qur’an itu sendiri.
Sesuai dengan Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama tahun 1926, Nahdlatul Ulama menetapkan tujuannya adalah untuk mengembangkan Islam berlandaskan ajaran keempat mazhab di atas. Tujuan itu diusahakan dengan :
a.         Memperkuat persatuan di antara sesama ulama penganut ajaran-ajaran empat mazhab.
b.         Meneliti kitab-kitab yang akan dipergunakan untuk mengajar sesuai dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah.
c.         Menyebarkan ajaran Islam yang sesuai dengan ajaran empat mazhab.
d.        Memperbanyak jumlah lembaga pendidikan Islam dan memperbaiki organisasinya Membantu pembangunan masjid, surau dan pondok pesantren serta membantu kehidupan anak yatim dan orang miskin.
e.         Mendirikan badan-badan untuk meningkatkan perekonomian anggota.[5]

B.     Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
Pendidikan Islam di Indonesia telah muncul dan berkembang dalam berbagai bentuk lembaga yang bervariasi, seperti masjid, pondok pesantren, madrasah, surau dan meunasah.
1.      Masjid
Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, masjid merupakan satu-satunya pusat berbagai kegiatan. Baik kegiatan keagamaan, sosial kemasyarakatan, maupun kegiatan pendidikan. Bahkan kegiatan pendidikan yang berlangsung di masjid masih bersifat sederhana kala itu sangat dirasakan oleh masyarakat muslim. Maka tidak mengherankan apabila masyarakat di masa itu menaruh harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang bisa membangun masyarakat muslim yang lebih baik.
2.      Pondok Pesantren
Pondok Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang bertujuan memberikan pemahaman, penghayatan, dan pengamalan ajaran Islam, dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup.[6]
Pondok pesantren pada mulanya merupakan lembaga pendidikan penyiaran agama Islam tertua di Indonesia. terdapat dua versi pendapat mengenai asal usul dan latar belakang berdirinya pondok pesantren di Indonesia. Pada pendapat pertama menjelaskan bahwa penyiaran Islam di Indonesia pada awalnya banyak dikenal dalam bentuk kegiatan tarekat. Hal ini ditandai oleh terbentuknya kelompok-kelompok tarekat yang melaksanakan amalan dzikir dan wirid-wirid tertentu. Pemimpinnya dinamakan kyai, yang mewajibkan pengikut-pengikutnya untuk melaksanakan suluk selama empat puluh hari dalam satu tahun dengan cara tinggal bersama dengan anggota tarekat lain dalam sebuah masjid untuk melaksanakan ibadah-ibadah dibawah bimbingan kyai.
Sedangkan pada pendapat yang kedua berdasarkan fakta bahwa jauh sebelum Islam datang ke Indonesia lembaga pesantren sudah ada di negeri ini. Pendidikan pesantren pada masa itu dimaksudkan sebagai tempat mengajarkan ajaran-ajaran agama Hindu dan tempat membina kader-kader penyebar Hindu.
Adapun metode pembelajaran yang dilaksanakan di pondok pesantren adalah sebagai berikut:
a.       Wetonan
Metode wetonan yaitu kyai membacakan salah satu kitab di depan para santri yang juga memegang dan memerhatikan kitab yang sama. Dengan metode tersebut, santri hanya menyimak, memerhatikan, dan mendengarkan pembacaan dan pembahasan isi kitab yang dilakukan oleh kyai. Dalam proses belajarnya, biasanya kyai dikelilingi santrinya yang membentuk lingkaran, yang disebut halaqah.
b.      Sorogan
Metode sorogan adalah metode pembelajaran sistem privat yang dilakukan santri kepada seorang kyai. Dalam metode sorogan ini, santri datang kepada kyai dengan membawa kitab kuning atau kitab gundul, lalu membacanya di depan kyai dan menerjemahkannya.[7]
3.         Madrasah
Madrasah sebagai lembaga pendidikan islam di Indonesia yang relatif muda dibanding pesantren. Lahir pada abad ke 20 dengan munculnya madrasah Manbaul Ulum Kerajaan Surakarta pada tahun 1905 dan Madrasah Adabiyah yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad di Sumatera Barat pada tahun 1909. Madrasah berdiri atas inisiatif dan realisasi dari pembaharuan sistem pendidikan Islam yang telah ada. Pembaharuan tersebut menurut mastuhu meliputi tiga hal, yaitu:
a.       Usaha menyempurnakan sistem pendidikan pesantren
b.      Penyesuaian dengan sistem pendidikan Barat
c.       Upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan tradisional pesantren dan sistem pendidikan Barat.
Madrasah sebagai lembaga pendidikan Islam, kini ditempatkan sebagai sekolah dalam sistem pendidikan nasional. Di dalam salah satu diktum surat keputusan bersama (SKB) tiga menteri (Menteri Agama, Menteri Pendidikan, dan Menteri Dalam Negeri) disebutkan perlunya diambil langkah-langkah untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar lulusan dari madrasah dapat melanjutkan ke sekolah-sekolah umum, dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi (Mastuhu, 1999: 226).[8]
4.      Surau
Istilah surau di Minangkabau sudah dikenal sebelum datangnya Islam, surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur.
Fungsi surau tidak berubah setelah kedatangan Islam, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh syekh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa ini, eksistensi surau disamping sebagai tempat shalat, juga sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk).
Secara bertahap, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan. Ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
a.       Pengajaran Al-qur’an
Pengajaran Al-qur’an ada dua macam tingkatan, yaitu:
1)      Pendidikan rendah, yaitu pendidikan untuk memahami ejaan huruf Al-qur’an  dan membaca Al-qur’an.
2)      Pendidikan Atas, yaitu pendidikan membaca Al-qur’an dengan lagu, kasidah, berzanji, tajwid dan kitab parukunan.
b.      Pengajaran Kitab
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi, ilmu sharaf dan nahu, ilmu fikih, ilmu tafsir.
5.      Meunasah
Meunasah merupakan tingkat pendidikan Islam terendah. Meunasah berasal dari kata Arab Madrasah. Meunasah merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap kampung atau desa. Bangunan ini seperti rumah tapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain.
Secara fisik, meunasah adalah bangunan rumah panggung yang dibuat pada setiap kampung. Dalam meunasah terdapat sumur, bak air, dan wc yang terletak berjarak pada meunasah. Diantara fungsi meunasah adalah:
a.          Sebagai tempat upacara keagamaan, penerimaan zakat dan tempat penyalurannya, tempat penyelesaian perkara agama, dan menerima tamu.
b.        Sebagai lembaga pendidikan Islam di mana diajarkan pelajaran membaca Al-qur’an.
Keberadaan meunasah sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar sangat mempunyai arti di Aceh. Meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu.[9]

C.    Tokoh-Tokoh Pendidikan Islam di Indonesia
Adapun tokoh-tokoh pendidikan Islam di Indonesia antara lain:
1.      K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923)
      K.H. Ahmad Dahlan adalah pendiri persyarikatan Muhammadiyah. Beliau dilahirkan di Yogyakarta pada tahun 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayah beliau adalah Abu Bakar seorang Imam atau Khatib pada Masjid Jami’ kesultanan Yogyakarta, sedang ibunya bernama Siti Aminah binti K.H. Ibrahim, penghulu besar di kesultanan Yogyakarta. K.H Ahmad Dahlan merupakan salah satu keturunan dari seorang wali terkenal yaitu Maulana Malik Ibrahim, yang terkenal juga dengan sebutan Sunan Gresik.[10]
              Di masa kecil, K.H Ahmad Dahlan memperoleh pendidikan agama Islam pertama kali dari ayahnya. Beliau menjalani pendidikan di pesantren yang mencerminkan identitas santri. Ketika berusia 15 tahun, beliau berangkat ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan berniat untuk belajar Islam secara mendalam di tanah suci. Selama lima tahun di Mekkah, beliau banyak memperoleh pengalaman hidup yang berharga, terutama yang berhubungan dengan pemahamannya terhadap perkembangan pemikiran dunia Islam dan informasi mengenai maju mundurnya masyarakat Islam di berbagai belahan dunia.[11]
             Menurut K.H Ahmad Dahlan tujuan pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta berjuang untuk kemajuan masyarakatnya.[12]
2.      K.H Hasyim Asy’ari (1871-1947)
             K.H Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 14 februari 1871 di desa Gedang Jombang, Jawa Tmur. Ayahnya bernama Kyai Asy’ari yang berasal dari Demak. Ibunya bernama Halimah, putri Kyai Usman seorang pendiri Pesantren Gedangyang terkenal mampu menarik santri-santri dari seluruh Jawa pada akhir abad ke-19. Sedang kakeknya Kyai Sihab adalah pendiri Pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur. K.H Hasyim Asy’ari merupakan keturunan kyai dan juga berdarah bangsawan, keturunan kesepuluh dari Prabu Brawijaya VI (Lembupeteng).
Semenjak masih anak-anak, beliau terkenal sebagai anak yang cerdas dan rajin belajar. Pada mulanya ia belajar di bawah bimbingan ayahnya sendiri dalam ilmu-ilmu tauhid, fiqh, bahasa arab, tafsir dan hadist. Karena sedemikian cerdasnya, pada usia 13 tahun beliau sudah dapat membantu ayahnya mengajar para snatri yang lebih tua darinya.[13]
Pemikiran modern pendidikan K.H Hasyim Asy’ari dapat ditelusuri melalui karya monumental beliau, yaitu kitab adab al-alim wa al-muta’alim yang mengurai tentang keutamaan ilmu. Buku tersebut berisi tuntunan tentang signifikansi tentang pendidikan, tugas dan tanggung jawab guru, serta tugas dan tanggung jawab murid.[14]





BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.      Organisasi yang berdasarkan sosial keagamaan yang banyak melakukan aktivitas pendidikan Islam di Indonesia antara lain, Al-Jami’at Al-Khairiyah, Al-Irsyad, Persyarikatan Ulama, Muhammadiyah, dan Nadlatul Ulama.
2.      Pendidikan Islam di Indonesia telah muncul dan berkembang dalam berbagai bentuk lembaga yang bervariasi, seperti Masjid, Pondok Pesantren, Madrasah, Surau dan Meunasah.
3.      Tokoh-tokoh pendidikan Islam di Indonesia antara lain K.H Ahmad Dahlan dan K.H Hasyim Asy’ari.














DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mukhlis, Sejarah Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Nusantara,  Jurnal Al-Makrifat, Vol. 2 No.1, 2017, diakses dari http://ejournal.kopertais4.or.id , Pada Tanggal 16 November 2018.
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group, 2012.
Choirunniswah, Organisasi Islam dan Perannya Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ta’dib, Vol. 18  No. 01, diakses dari http://jurnal.radenfatah..ac.id , pada tanggal 16 November 2018.
Hasan Basri, Disorientasi Pendidikan Madrasah di Indonesia, Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3 No. 1, diakses dari http://ejournal.uin.suska.ac.id , pada tanggal 16 November 2018.
KM. Akhiruddin, Lembaga Pendidikan Islam Nusantara, Jurnal Tarbiya, Vol. 1 No. 1 (2015), diakses dari http://journal.uinsgd.ac.id ,pada tanggal 16 November 2018.
            Leyan Mustapa, Pembaharuan Pendidikan Islam Studi Atas Teologi Sosial Pemikiran KH. Ahmad Dahlan, Jurnal Pembaharuan Pendidikan Islam, Vol. 1 No. 1, 2014, diakses dari http://download.portalgaruda.org ,pada tanggal 16 November 2018.
Nelly Yusra, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan Pendidikan Islam,  Jurnal kependidikan islam, Vol.4 No.1, 2018, diakses dari http://ejournal.uin-suska.ac.id , pada tanggal 16 November 2018.
Noor Amiruddin, Filsafat Pendidikan Islam, Gresik, Caremedia Communication, 2018.
Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia, Bandung, Dari Mizan, 2009.
Sembodo Ardi Widodo, Konstruksi Keilmuan Muhammadiyah dan Nu,  Jurnal Al-Ulum, Vol.11 No.2, 2011, diakses dari http://media.neliti.com , pada tanggal 16 November 2018.
            Wahyuddin G, Awal Munculnya Gerakan Inteliktualisme Islam di Indonesia Abad 20,  Jurnal Adabiyah, Vol. 10 No. 2, diakses dari http://journal.uin.alauddin.ac.id pada tanggal 13 November 2018.






[1] Noor Amiruddin, Filsafat Pendidikan Islam, Gresik, Caremedia Communication, 2018, hlm 216-217.
[2] Wahyuddin G, Awal Munculnya Gerakan Inteliktualisme Islam di Indonesia Abad 20,  Jurnal Adabiyah, Vol. 10 No. 2, diakses dari http://journal.uin.alauddin.ac.id pada tanggal 13 November 2018.
[3] Choirunniswah, Organisasi Islam dan Perannya Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, Jurnal Ta’dib, Vol. 18  No. 01, diakses dari http://jurnal.radenfatah..ac.id , pada tanggal 16 November 2018.
[4] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Prenada Media Group, 2012, Hlm, 139.
[5] Op. Cit, Choirunniswah, Organisasi Islam dan Perannya Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia, hlm: 63-64
[6] Maesaroh Lubis, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Tasikmalaya, Edu Publisher, 2018, Hlm.70
[7] KM. Akhiruddin, Lembaga Pendidikan Islam Nusantara, Jurnal Tarbiya, Vol. 1 No. 1 (2015), diakses dari http://journal.uinsgd.ac.id ,pada tanggal 16 November 2018.
[8] Hasan Basri, Disorientasi Pendidikan Madrasah di Indonesia, Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3 No. 1, diakses dari http://ejournal.uin.suska.ac.id , pada tanggal 16 November 2018.
[9] Abdul Mukhlis, Sejarah Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Nusantara,  Jurnal Al-Makrifat, Vol. 2 No.1, 2017, diakses dari http://ejournal.kopertais4.or.id , Pada Tanggal 16 November 2018.
[10] Sembodo Ardi Widodo, Konstruksi Keilmuan Muhammadiyah dan Nu,  Jurnal Al-Ulum, Vol.11 No.2, 2011, diakses dari http://media.neliti.com , pada tanggal 16 November 2018.
[11] Nelly Yusra, Muhammadiyah Gerakan Pembaharuan Pendidikan Islam,  Jurnal kependidikan islam, Vol.4 No.1, 2018, diakses dari http://ejournal.uin-suska.ac.id , pada tanggal 16 November 2018.
[12] Leyan Mustapa, Pembaharuan Pendidikan Islam Studi Atas Teologi Sosial Pemikiran KH. Ahmad Dahlan, Jurnal Pembaharuan Pendidikan Islam, Vol. 1 No. 1, 2014, diakses dari http://download.portalgaruda.org ,pada tanggal 16 November 2018.
[13] Op.Cit, Sembodo Ardi Widodo, Konstruksi Keilmuan Muhammadiyah dan Nu, hlm: 219-223
[14] Op. Cit, Maesaroh Lubis, Kapita Selekta Pendidikan Islam, hlm. 111.
[15] Salman Iskandar, 99 Tokoh Muslim Indonesia, Bandung, Dari Mizan, 2009, Hlm. 26-27.

2 komentar: